Ada beberapa cerita menarik tentang makanan yang kami bahas di antara kami akhir-akhir ini. Yang pertama adalah beberapa teman yang tidak ...
Ada beberapa cerita menarik tentang makanan yang kami bahas di antara kami akhir-akhir ini.
Yang pertama adalah beberapa teman yang tidak makan nasi sama sekali. Ada teman yang anak
remajanya diet nasi dan menggantinya dengan sumber karbohidrat lain, karena ingin punya badan yang
aduhai.
Ada juga yang… nah ini menarik: dia sedang melakukan penelitian mengenai adiksi, dan ingin
merasakan apakah bisa orang lepas dari sesuatu yang adiktif sifatnya. Dia menilai dirinya selama ini tak
bisa lepas dari nasi, sehingga dia bereksperimen tak makan nasi selama 1 bulan. Sukses? Ya, dengan
susah payah.
Cerita lain mengenai nasi adalah tentang anak teman kami, hampir 3 tahun usianya, yang tidak
suka makan nasi dari kecil. Ia makan segalanya, kecuali nasi. Ibunya sudah membawanya kesana kemari,
sampai suatu hari ia bertemu dokter yang melegakan. Kata dokternya, ya anak ibu ‘bule’, gak suka nasi.
Tidak masalah selama dia makan cukup dan sehat.
Tak semua orang tua setuju dengan pendapat dokter ini. Tanpa makan nasi, apalagi dalam masa
pertumbuhan, anak tidak akan tumbuh dengan baik, menurut mereka. Akhirnya teman kami itu ‘dihujat’
di medsos. Teman lain bercerita bahwa anaknya tidak mau lagi makan frozen food karena dia pikir tidak
sehat. Ada juga ibu yang pusing karena anaknya mempermasalahkan apakah makanan Jepang kecapnya
halal.
Seorang teman lain menceritakan bahwa anak-anak remajanya sulit ditanya ‘mau makan apa?”
ketika mereka makan di luar. Tadinya sang ibu merasa sebal karena dia kira anak-anaknya malas
berpikir. Namun, dengan dialog yang tenang, akhirnya sang ibu menemukan alasan yang sebenarnya:
sang anak tidak memandang perlu makan apa, karena dia sudah mencoba hampir semua makanan di
mal-mal di sekitar tempat tinggal mereka.
Sekarang yang lebih penting adalah kumpul bersama
keluarga, apapun makanannya.
Beberapa teman saya menceritakan bahwa mereka juga sudah hilang keinginannya untuk makan
sesuatu yang spesifik. Di antara obrolan itu, saya mencatat dua hal: saat ini banyak ibu-ibu yang
membeli makanan di luar, bukan masak sendiri; dan anak-anak ternyata punya pendapat dan sikap
sendiri tentang makanan.
Ada beberapa cerita menarik tentang makanan yang kami bahas di antara kami akhir-akhir ini.
Yang pertama adalah beberapa teman yang tidak makan nasi sama sekali. Ada teman yang anak
remajanya diet nasi dan menggantinya dengan sumber karbohidrat lain, karena ingin punya badan yang
aduhai.
Ada juga yang… nah ini menarik: dia sedang melakukan penelitian mengenai adiksi, dan ingin
merasakan apakah bisa orang lepas dari sesuatu yang adiktif sifatnya. Dia menilai dirinya selama ini tak
bisa lepas dari nasi, sehingga dia bereksperimen tak makan nasi selama 1 bulan. Sukses? Ya, dengan
susah payah.
Cerita lain mengenai nasi adalah tentang anak teman kami, hampir 3 tahun usianya, yang tidak
suka makan nasi dari kecil. Ia makan segalanya, kecuali nasi. Ibunya sudah membawanya kesana kemari,
sampai suatu hari ia bertemu dokter yang melegakan. Kata dokternya, ya anak ibu ‘bule’, gak suka nasi.
Tidak masalah selama dia makan cukup dan sehat.
Tak semua orang tua setuju dengan pendapat dokter ini. Tanpa makan nasi, apalagi dalam masa
pertumbuhan, anak tidak akan tumbuh dengan baik, menurut mereka. Akhirnya teman kami itu ‘dihujat’
di medsos. Teman lain bercerita bahwa anaknya tidak mau lagi makan frozen food karena dia pikir tidak
sehat. Ada juga ibu yang pusing karena anaknya mempermasalahkan apakah makanan Jepang kecapnya
halal.
Seorang teman lain menceritakan bahwa anak-anak remajanya sulit ditanya ‘mau makan apa?”
ketika mereka makan di luar.
Tadinya sang ibu merasa sebal karena dia kira anak-anaknya malas
berpikir. Namun, dengan dialog yang tenang, akhirnya sang ibu menemukan alasan yang sebenarnya:
sang anak tidak memandang perlu makan apa, karena dia sudah mencoba hampir semua makanan di
mal-mal di sekitar tempat tinggal mereka. Sekarang yang lebih penting adalah kumpul bersama
keluarga, apapun makanannya.
Beberapa teman saya menceritakan bahwa mereka juga sudah hilang keinginannya untuk makan
sesuatu yang spesifik. Di antara obrolan itu, saya mencatat dua hal: saat ini banyak ibu-ibu yang
membeli makanan di luar, bukan masak sendiri; dan anak-anak ternyata punya pendapat dan sikap
sendiri tentang makanan.